0 Adversity Quotient (3)

Minggu, 04 April 2010
Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Thomas J Stanley (2003) yang kemudian ditulisnya dalam sebuah buku berjudul; "The Millionaire Mind" menjelaskan hal yang sama, bahwa mereka yang berhasil menjadi millioner di dunia ini adalah mereka dengan prestasi akademik biasa-biasa saja (rata-rata S1), namun mereka adalah pekerja keras, ulet, penuh dedikasi, dan bertanggung jawab, termasuk tanggung jawab yang sangat besar terhadap keluarganya. Adversity Quotient itu sendiri mempunyai tiga bentuk, yakni; (1) suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan; (2) suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan; dan (3) serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan.

John Gray (2001) mengatakan "semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh". Adapun dimensi yang terkait dengan kecerdasan menghadapi kesulitan adalah: (1) control atau kendali mempertanyakan berapa banyak kendali yang anda rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan?; (2) origin dan ownership mempertanyakan dua hal, yakni: siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan, dan sampai sejauhmanakah seseorang mengakui akibat kesulitan itu?; (3) reach atau jangkauan mempertanyakan sejauhmana kesulitan akan menjangkau atau merembes ke bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang?; (4) endurance atau daya tahan mempertanyakan dua hal, yakni; berapa lamakah kesulitan berlangsung dan lamanya penyebab kesulitan tersebut akan bertahan?

Kecerdasan menghadapi kesulitan tersebut dapat ditingkatkan atau dapat diperbaiki dengan melakukan hal-hal sebagai berikut; (1) listen atau dengarkanlah respons terhadap kesulitan ; (2) explore atau jajaki asal usul dan pengakuan atas akibatnya; (3) analysis bukti-buktinya; dan (4) do atau lakukan sesuatu. Magnesen (2000) mengatakan bahwa; "90% pemahaman belajar diperoleh dari melakukan sesuatu. Konfusius lebih dari 2400 tahun silam menyatakan, bahwa; "yang saya dengar saya lupa, yang saya lihat sangat ingat, dan yang saya kerjakan saya paham." Namun sayangnya praktek pendidikan dan pembelajaran baik yang dilakukan oleh orang tua, guru dan masyarakat belum sampai pada proses pembelajaran yang mengajarkan kepada anak dan siswanya bagaimana menghadapi kesulitan (adversity quotient).

sumber: http://semesta.multiply.com (thanks to her/him for this post to do my homework)
Read more

0 Adversity Quotient (2)

Dalam bukunya berjudul Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities, Paul Stoltz memerkenalkan bentuk kecerdasan yang disebut adversity quotient (AQ). Menurutnya, AQ adalah bentuk kecerdasan selain IQ, SQ, dan EQ yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan. AQ dapat digunakan untuk menilai sejauh mana seseorang ketika menghadapi masalah rumit. Dengan kata lain AQ dapat digunakan sebagai indikator bagaimana seseorang dapat keluar dari kondisi yang penuh tantangan. Ada tiga kemungkinan yang terjadi yakni ada karyawan yang menjadi kampiun, mundur di tengah jalan, dan ada yang tidak mau menerima tantangan dalam menghadapi masalah rumit (tantangan) tersebut. Katakanlah dengan AQ dapat dianalisis seberapa jauh para karyawannya mampu mengubah tantangan menjadi peluang.

AQ dapat dipandang sebagai ilmu yang menganalisis kegigihan manusia dalam menghadapi setiap tantangan sehari-harinya. Kebanyakan manusia tidak hanya belajar dari tantangan tetapi mereka bahkan meresponnya untuk memeroleh sesuatu yang lebih baik. Dalam dunia kerja, karyawan yang ber-AQ semakin tinggi dicirikan oleh semakin meningkatnya kapasitas, produktivitas, dan inovasinya dengan moral yang lebih tinggi. Sebagai ilmu maka AQ dapat ditelaah dari tiga sisi yakni dari teori, keterukuran, dan metode. Secara teori, AQ menjelaskan mengapa beberapa orang lebih ulet ketimbang yang lain. Dengan kata lain apa, mengapa dan bagaimana mereka berkembang dengan baik walaupun dalam keadaan yang serba sulit. Dalam konteks pengukuran, AQ bisa digunakan untuk menentukan atau menseleksi para pelamar dan juga untuk mengembangkan daya kegigihan karyawan. Sebagai metode, AQ dapat dikembangkan untuk meningkatkan kinerja, kesehatan, inovasi, akuntabilitas, focus, dan keefektifitasan karyawan.

Beberapa perusahaan di dunia seperti FedEx, HP, Procter & Gamble, Marriott, Sun Microsystems, Deloitte & Touche, and 3M telah memanfaatkan model AQ ini. Dengan AQ mereka mampu mengatasi permasalahan bisnis dan kinerja karyawan.

sumber: indosdm.com (thanks to her/him for this post to do my homework)
Read more

0 Adversity Quotient

Apakah adversity quotient (AQ) itu? Menurut Stoltz, AQ adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. “AQ merupakan faktor yang dapat menentukan bagaimana, jadi atau tidaknya, serta sejauh mana sikap, kemampuan dan kinerja Anda terwujud di dunia,” tulis Stoltz. Pendek kata, orang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan cita-citanya dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah.

Untuk memberikan gambaran, Stoltz meminjam terminologi para pendaki gunung. Dalam hal ini, Stoltz membagi para pendaki gunung menjadi tiga bagian:
1. quitter (yang menyerah). Para quitter adalah para pekerja yang sekadar untuk bertahan hidup). Mereka ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan
2. camper (berkemah di tengah perjalanan) Para camper lebih baik, karena biasanya mereka berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap mengambil risiko yang terukur dan aman. “Ngapain capek-capek” atau “segini juga udah cukup” adalah moto para campers. Orang-orang ini sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters. Sayangnya banyak potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian itu sebenarnya belum selesai.

3. climber (pendaki yang mencapai puncak). Para climber, yakni mereka, yang dengan segala keberaniannya menghadapi risiko, akan menuntaskan pekerjaannya. Mereka mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan.”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki AQ tinggi. Dengan kata lain, AQ membedakan antara para climber, camper, dan quitter .

Jawaban luar biasa dari pencipta lampu pijar itu menjadi salah satu contoh ekstrem seorang climber (pendaki)–yang dianggap memiliki kecerdasan mengatasi kesulitan (adversity quotient, AQ) tinggi. Terminologi AQ memang tidak sepopuler kecerdasan emosi (emotional quotient) milik Daniel Goleman, kecerdasan finansial (financial quotient) milik Robert T. Kiyosaki, atau kecerdasan eksekusi (execution quotient) karyaStephen R. Covey.

AQ ternyata bukan sekadar anugerah yang bersifat given. AQ ternyata bisa dipelajari. Dengan latihan-latihan tertentu, setiap orang bisa diberi pelatihan untuk meningkatkan level AQ-nya.

Manusia sejati adalah manusia yang jika menempuh perjalanan yang sulit, mereka selalu optimis; sedangkan jika mereka melewati perjalanan yang mudah mereka malah khawatir

Dalam kehidupan nyata, hanya para climbers-lah yang akan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan sejati. Sebuah penelitian yang dilakukan Charles Handy-seorang pengamat ekonomi kenamaan asal Inggris terhadap ratusan orang sukses di Inggris memperlihatkan bahwa mereka memiliki tiga karakter yang sama. Yaitu, pertama, mereka berdedikasi tinggi terhadap apa yang tengah dijalankannya. Dedikasi itu bisa berupa komitmen, kecintaan atau ambisi untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Kedua, mereka memiliki determinasi. Kemauan untuk mencapai tujuan, bekerja keras, berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Dan ketiga, selalu berbeda dengan orang lain. Orang sukses memakai jalan, cara atau sistem bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Dua dari tiga karakter orang sukses yang diungkapkan Handy dalam The New Alchemist tersebut erat kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan

Dalam dunia kerja Mengapa para karyawan yang ber-IPK tinggi kalah bersaing dibandingkan para karyawan lain yang ber-IPK rendah tetapi lebih berani dalam bertindak?

sumber:iisrasjeed.blogsome.com (thanks to her/him for this post to do my homework)

Read more
 
Jurnal Milzam © 2010 | Designed by Blogger Hacks | Blogger Template by ColorizeTemplates